Rabu, 09 Desember 2015

contoh makalah arbitrase penyelesaian sengketa bisnis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
BAB II  PEMBAHASAN
A.    Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
B.    Lembaga Arbitrase
C.    Dasar Hukum Arbitrase
BAB II  PENUTUP
A.    Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Seperti kita ketahui, banyak kritik yang dilontarkan kepada pengadilan dalam penyelesaian sengketa di masyarakat dan pencari keadilan, pengadilan merupakan penyakit yang gawat. Kejadian ini bukan hanya ada di Indonesia, melainkan sudah mendunia. Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antara para pihak yang terlibat. Secara konvensional, penyelesaian dilakukan secara litigasi (melalui pengadilan), di mana posisi para pihak berlawanan satu sama lain. Proses ini membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, model penyelesaian seperti ini tidak diterima dalam dunia bisnis karena tidak sesuai dengan tuntutan perkembangannya. Sehubungan dengan hal itu perlu dicari penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien untuk menghadapi kegiatan bisnis yang free market and free competition. Harus ada lembaga yang dapat diterima dunia bisnis dan memiliki sistem penyelesaian sengketa dengan cepat dan biaya murah.[1]       
Mengingat ketidakpuasan masyarakat tersebut semakin penting kiranya untuk lebih mendayagunakan ADR (Alternative Dispute Resolution) sebagai salah satu sistem penyelesaian sengketa. Salah satu ADR yang banyak digunakan pada saat sekarang adalah arbitrase.  Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata yang bersifat swasta di luar pengadilan umum yang didasarkan pada kontrak arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, dimana pihak penyelesai sengketa tersebut dipilih oleh pihak yang bersangkutan, yang terdiri dari orang-orang yang tidak berkepentingan dengan perkara yang bersangkutan. [2] 
Esensi dari arbitrase adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk berusaha menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Para pihak sepakat untuk menunjuk pihak ketiga sebagai yang akan bertindak sebagai wasit. Setelah memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan dokumen-dokumen dan bukti-bukti yang relevan. Pada umumnya tidak ada aturan tertentu bagaimana arbitrase dilakukan dan semuanya diserahkan kepada kesepakatan para pihak. Meskipun demikian, untuk memfasilitasi proses para pihak dapat sepakat mengenai aturan-aturan yang akan digunakan.[3]

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas selanjutnya, yaitu :
1.      Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
2.      Lembaga Arbitrase
3.      Dasar Hukum Arbitrase 


















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Dasar Pertimbangan Memilih Arbitrase
Di dalam arbitrase, para pihak menyetujui untuk menyelesaiakan sengketanya kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Arbitrase adalah salah satu bentuk adjudikasi privat. Dalam beberapa hal, arbitrase mirip dengan adjudikasi publik dan sama-sama memiliki beberapa keuntungan dan kelemahan. Perbedaan arbitrase dengan litigasi melalui pengadilan adalah dilibatkannya litigasi sengketa pribadi dalam arbitrase. Sifat pribadi dari arbitrase memberikan keuntungan-keuntungan melebihi adjudikasi melalui pengadilan negeri. Arbitrase pada dasarnya menghindari pengadilan. Dalam kaitan ini, dibandingkan dangan adjudikasi publik, arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, dan kerahasiaan kepada para pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase, para pihak dapat memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang telah menetapkan hakim yang akan berperan. Hal ini dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam sengketa mereka. Para pihak juga dapat memilih hukum yang akan diterapkan pada sengketa tersebut sehingga akan melindungi pihak yang merasa takut atau tidak yakin dengan hukum substantive dari yurisdiksi tertentu. Kerahasiaan arbitrase membantu melindungi para pihak dari penyingkapan kepada umum yang merugikan mereka atau pengungkapan informasi dalam proses adjudikasi.[4]
Arbitrase dapat lebih cepat dan murah dibandingkan dengan adjudikasi publik karena para pihak secara efektif memilih hakim mereka. Mereka tidak perlu antri menunggu pemeriksaan perkaranya oleh pengadilan. Pada sebagian besar yurisdiksi, hal tersebut betul-betul merupakan suatu penantian yang panjang. Arbitrase juga cenderung lebih informal dibandingkan adjudikasi publik, prosedurnya tidak begitu kaku dan lebih dapat menyesuaikan. Karena arbitrase tidak sering mengalami penundaan dan prosedur pada umumnya lebih sederhana, arbitrase mengurangi biaya-biaya yang berhubungan dengan adjudikasi publik.[5]
Pada umumnya, lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan, yang menjadi alasan untuk memilih jalur ini. Kelebihan tersebut antara lain sebagai berikut.
1.      Kerahasiaan dijamin para pihak yang bersengketa
2.      Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administrasi
3.      Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang memadai mengenai masalah yang disengketakan, jujur, dan adil
4.      Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah, proses, dan tempat penyelenggaraan arbitrase
5.      Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan melalui tata cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan[6]

B.  Lembaga Arbitrase
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Berdasarkan eksistensi dan kewenangan untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara pihak yang mengadakan perjanjian ada dua jenis arbitrase yaitu:
1.    Arbitrase ad hoc
Arbitrase ad hoc adalah (arbitrase volunter) adalah arbitrase yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase ini bersifat insidental dan jangka waktunya tertentu sampai sengketa itu diputuskan
2.    Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional adalah lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen. Ciri dari lembaga arbitrase institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad hoc adalah sebagai berikut:
a.       Arbitrase institusinal sengaja didirikan untuk bersifat permanen/selamanya, sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai diputus.
b.      Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul, sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak yang bersangkutan.
c.       Karena bersifat permanen, arbitrase institusional didirikan lengkap dengan susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang pada umumnya tercantum dalam anggaran dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan pada arbitrase ad hoc tidak ada sama sekali
Arbitrase institusional ini ada yang bersifat nasional dan ada pula yang bersifat internasional. Dikatakan bersifat nasional karena pendiriannya hanya untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan. Sementara dikatakan bersifat internasional karena merupakan pusat penyelesaian persengketaan antara pihak yang berbeda kewarganegaraan.
Beberapa lembaga arbitrase bersifat nasional maupun internasional yang dikenal adalah:
1.      Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
2.      Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)
3.      The Internasional Centre for Settlement of Invesmen Disputes (ICSID)
4.      The Court of Arbitrasetion of The Internasional Chamber of Commerce (ICC)[7]

C.      Dasar Hukum Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Secara singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
a.      Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
b.      Pasal 377 HIR
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG yang menyatakan bahwa : “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
c.       Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
ü Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
ü Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
ü Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
ü Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
ü Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
d.       Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “ Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
e.       Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
f.        Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967 : “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
g.       UU No. 5/1968
yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington.
h.       Kepres. No. 34/1981
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
i.        Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
j.        UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.[8]




















BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang keuntungan-keuntungan memilih arbitrase maka  kesimpulannya adalah bahwa yang paling ideal bagi pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketa adalah arbitrase. Alasannya adalah bahwa arbitrase merupakan penyelesaian yang efisien karena dilandasi oleh itikad baik, kerjasama dan tanpa konfrontasi. Hal ini membuat pemecahan masalah yang bersifat ” win - win solution”. Berbeda dengan penyelesaian di pengadilan yang bersifat “ win - loose”dan juga berfilosopi pertentangan dan pertikaian.
















DAFTAR PUSTAKA
Fuady, Munir. 2010. Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global.     Bandung: Citra Aditya Bakti.
Harahap, M. Yahya. 2004. Arbitrase (Hukum Acara Perdata). Jakarta: Sinar Grafika.
Hartini, Rahayu. 2009. Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia: Dualisme            Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase. Jakarta: Prenada Media Group.
Hermansyah. 2005. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.
Margono, Suyud. 2000. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses           Pelembagaan dan Aspek Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Santiago, Faisal. 2012. Pengantar Hukum Bisnis. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Simatupang, Richard Burton. 2007. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta. Wijaya, Gunawan. 2003. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

     
                                                                                                                                                                



[1] Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.14.
[2] Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2012, hlm.119.
[3] Ibid., hlm. 120
[4] Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.26.
[5] Ibid., hlm. 27
[6] Suyud Margono, ADR & ARBITRASE (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hlm.21.
[7] Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Di Indonesia : Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.47.
[8] Rahayu Hartini, Penyelesaian Sengketa Kepailitan Di Indonesia : Dualisme Kewenangan Pengadilan Niaga & Lembaga Arbitrase, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm.38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar